Narkotika dan Minuman Beralkohol Menurut Hukum di Indonesia

Akhir-akhir ini marak berita mengenai pro dan kontra Mendagri yang ingin mengevaluasi Perda Anti-Miras di televisi. Namun dalam artikel ini saya lebih menyorot kepada pihak yang kontra mengenai hal ini, sampai-sampai terjadi protes yang berlebihan mengenai isu ini.

Lalu apakah minuman beralkohol ini sama berbahayanya dengan narkotika?

Nah dalam artikel saya ini, terdapat pencerahan mengenai hal ini, semoga bermanfaat 🙂

 

Pada prinsipnya, menurut hukum, alkohol atau minuman beralkohol dan ganja merupakan dua hal yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Pengaturan narkotika adalah dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU 35/2009”), dan bukan dengan KUHP.

Menurut Pasal 1 Keppres No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol (“Keppres 3/1997”), yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah;

minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol.”

Mengenai produksi minuman beralkohol, menurut Pasal 2 ayat (1) Keppres 3/1997, produksi minuman beralkohol di Indonesia hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Perindustrian dan Perdagangan (sekarang, Menteri Perdagangan).

Adapun pengedaran dan penjualan minuman beralkohol bergantung pada kelompoknya. Minuman beralkohol yang digolongkan minuman keras yang produksi, pengedaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan adalah golongan B dan golongan C (lihat Pasal 3 ayat [2] Keppres 3/1997). Minuman beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5 persen s.d. 20 persen. Kemudian, minuman beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 20 persen s.d. 55 persen.

Minuman beralkohol golongan B dan golongan C dilarang diedarkan dan atau dijual di tempat umum, kecuali di hotel, bar, restoran dan di tempat tertentu oleh pemerintah daerah (lihat Pasal 5 ayat [1] Keppres 3/1997). Larangan dan ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap minuman beralkohol golongan A yaitu minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) 1 persen s.d. 5 persen.

Di sisi lain, ganja (cannabis sativa) merupakan tanaman atau daun yang mengandung zat narkotik aktif, terutama tetrahidrokanabinol yang dapat memabukkan, sering dijadikan ramuan tembakau untuk rokok. Demikian uraian mengenai ganja sebagaimana kami sarikan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ganja maupun zat yang dikandungnya (tetrahidrokanabinol) merupakan narkotika Golongan I menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Lampiran I UU 35/2009.

Berbeda dengan minuman beralkohol, pada prinsipnya undang-undang melarang setiap produksi, peredaran dan penggunaan narkotika Golongan I, kecuali dalam kadar, kondisi atau untuk kepentingan tertentu. Hal itu dapat kita lihat antara lain dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 yang menyatakan bahwa narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (lihat Pasal 8 ayat [2] UU 35/2009).

Kemudian, di dalam Pasal 12 ayat (1) UU 35/2009 diatur bahwa narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengawasan produksi narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (lihat Pasal 12 ayat [2] UU 35/2009).

Dari sisi dampak penyalahgunaannya, jika dilihat dari bagaimana pemerintah mengatur masing-masing di dalam peraturan perundang-undangan, akan terlihat jelas bahwa dampak penyalahgunaan narkotika jauh lebih merusak daripada alkohol. Di dalam Pasal 1 angka 1 UU 35/2009 antara lain dinyatakan bahwa narkotika dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Sedangkan, di dalam konsiderans menimbang Kepmenkes No. 282/Menkes/SK/II/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol, “hanya” dikatakan bahwa minuman beralkohol merupakan minuman yang penggunaannya dapat menimbulkan gangguan kesehatan.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa minuman beralkohol dan ganja adalah dua hal yang berbeda. Hal yang paling mendasar adalah dari kandungan masing-masing yaitu alkohol mengandung ethanol, sedangkan ganja mengandung tetrahidrokanabinol. Namun, menurut hukum, hanya narkotika yang dapat menimbulkan ketergantungan. Oleh karena itu, pengaturan masing-masing dibedakan oleh pembuat undang-undang. Jadi, minuman beralkohol memang tidak termasuk dalam golongan narkotika, tapi termasuk minuman keras yang produksi, pengedaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan (untuk gol. B dan gol. C).

Dasar hukum:

1.      Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2.      Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol

3.      Keputusan Menteri Kesehatan No. 282/Menkes/SK/II/1998 tentang Standar Mutu Produksi Minuman Beralkohol

 

Sumber : Hukum Online

About @riko.nandjan

A law-economy-creativity learner. Find me on instagram: @riko.nandjan

Posted on January 15, 2012, in Law. Bookmark the permalink. 1 Comment.

  1. ijin share pak

Leave a comment